Karakter dan Pendidikan Karakter: Apa, Bagaimana, So what gitu loh?

Karakter dan Pendidikan Karakter: Apa, Bagaimana, So what gitu loh?

 

Yuyun Yulia

 Pendidikan Bahasa Inggris

Direktorat Pascasarjana Pendidikan

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

yuyun.yulia@ustjogja.ac.id  

 

Akademisi beragam dalam menterjemahkan karakter, terlebih lagi ketika 'gaung' Revolusi Industri 4.0 menggema dan perbincangan tentang karakter menjadi hal crucial yang bukan hanya didefinisikan tetapi juga terimplementasikan khususnya pada bidang pendidikan. Elkind dan Sweet (2004) mendefinisikan karakter sebagai

"the deliberate effort to help people understand, care about and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within [1] (Upaya  atau usaha untuk memahami, peduli dan bertindak berdasarkan nilai etika dan kebenaran yang diyakini bahkan pada situasi, tekanan atau godaan apapun).

Sementara itu, Watts, seorang dosen, penulis dan research fellow pada Jubilee Centre mendefinisikan karakter sebagai 'doing the right thing when nobody's looking. Definisi tersebut menekankan pada pentingnya nilai/etika/kebenaran dalam hidup bermasyarakat pada situasi kondisi apapun.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Pasal 1 butir 2 mendefinisikan pendidikan nasional sebagai pendidikan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Lebih jauh, Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan kata lain tujuan pendidikan mencakup tiga dimensi, ketuhanan, masyarakat dan manusia sebagai mahluk individu. Pendidikan karakter diartikan sebagai upaya penanaman nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi pengetahuan dan norma yang berlaku sebagai produk 'kebudayaan' baik lisan maupun tertulis. Karakter bukan hanya untuk diketahui tetapi justru yang terpenting adalah bagaimana info, pengetahuan dan norma dapat secara sadar melaksanakan nilai kebaikan untuk masyarakat maupun diri sendiri agar menjadi manusia berakhlak mulia.

Perkembangan teknologi yang begitu cepat dan masif tentunya menimbulkan dampak positif maupun negatif terutamanya dibidang pendidikan. Dampak positif seperti informasi dari berbagai belahan dunia dapat secara cepat diakses dimanapun dan kapanpun. Dampak negatif, dibidang pendidikan misalnya, anak akan lebih menghabiskan waktu bersama dengan gadget ataupun games. Karakter yang muncul seperti serba cepat dan instan justru dapat membawa anak kurang peduli pada diri sendiri ataupun sekitarnya. Pada sebuah kunjungan persahabatan Friendship Force Indonesia di kelas PPG Daljab Angkatan 4 PBI FKIP UST, dua 'ambassador' berasal dari Adelaide, Australia, mengatakan bahwa, "The junior school parents quite often say, I have problems with my little boy, he keeps playing games all the time; can you help me? The teachers say, well, you have to work out the problem not us, we are teaching, you must have look at your structure when raising your child".

Ada beberapa hal yang perlu dicermati pada kutipan tersebut. Pertama, kepedulian anak semakin berkurang karena jauh lebih mementingkan games atau gadget. Perhatian kepada keluarga berkurang. Kedua, kecendrungan orang tua yang berpikir bahwa urusan karakter adalah urusan sekolah karena pengetahuan dan norma dipelajari dan diajarkan di sekolah. Hal tersebut menunjukan bahwa urusan karakter di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, menjadi permasalahan sekolah, karena mereka belajar ilmu pengetahuan dan norma di sekolah.  

Ki Hadjar Dewantara (KHD), bapak pendidikan nasional Indonesia mengatakan setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah majelis/sekolah. Hal tersebut diartikan bahwa pendidikan atau pembelajaran dapat terjadi dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun. Justru KHD mengatakan bahwa keluarga sebagai pusat pendidikan ("Wasita" Tahun ke-1 No. 3 - Mei 1935). KHD dengan jelas mengatakan bahwa keluarga adalah pusat pendidikan, pertama kalinya anak belajar tentunya dikeluarga. Seiring dengan berkembangnya anak, pendidikan kemudian menjadi urusan bersama yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Ki Hadjar mengajarkan kepada kita tentang tripusat pendidikan yang diartikan bahwa pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Nilai nilai luhur dapat diajarkan di rumah, sekolah, dan masyarakat simultaneously (secara simultan) sehingga nilai luhur yang telah diajarkan tumbuh subur dan tidak akan dapat hilang bersama keadaan dan waktu.

Guru besar Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. Imron Arifin, M.Pd., pada seminar nasional pendidikan bertema penguatan karakter berbasis literasi ajaran Tamansiswa menguraikan pendidikan karakter menjadi olah pikir, hati, raga dan rasa/karsa. Olah pikir adalah cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi ipteks dan reflektif. Olah hati meliputi beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban dan berjiwa patriotik. Olahraga diartikan sebagai bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria dan gigih; sedangkan olah rasa/karsa mencakup ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras dan beretos kerja.

Ketua Majelis Luhur Tamansiswa, Ki Prof. Sri-Edi Swasono Nitidiningrat mengatakan pentingnya Tamansiswa memiliki pedoman operasional pendidikan karakter berdasar sistem among dengan pendekatan Tut Wuri Handayani, seperti: cinta kepada ibu pertiwi, cinta kepada Sang Merah Putih, menghayati Bhinneka Tunggal Ika; pendidikan untuk membentuk dan mempertegas jati diri, harga diri dan percaya diri; pendidikan yang mencontohkan pentingnya bersahabat, ramah, tolong menolong, saling menghormati, berunggah-ungguh, ber-sopan santun; dan pendidikan yang mengajarkan toleransi, saling menghormati dan menghargai perbedaan, tolong menolong saling memperkuat dengan bersinergi satu sama lain, bersama, saling asih, asah dan asuh (caring, sharing and nurturing); dan yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan yang membentuk sikap entrepreneurial (curious, innovative, creative, auto-active, self-directed) untuk meraih the culture of excellence, the best of the best. Apalagi diera revin 4.0, berbagai ketrampilan abad 21 (data literacy, technological literacy dan human literacy) wajib dimiliki setiap digital native dan digital immigrant.

Sebagai penutup, seperti yang dikatakan Bennett dan Lemoine (2014) tentang 4 (empat) elemen penting pada era disrupsi - volatility (change rapidly and unpredictably), Uncertainty (uncertain future), Complexity (various connected parts) dan Ambiguity (open to more than one intrepretation) [2]. Seperti juga yang dicanangkan pemerintah, generasi emas pada tahun 2045, sudah seharusnya karakter bangsa pada umumnya dan termasuk didalamnya insan akademis wajib mengimplementasikan budaya luhur bangsa Indonesia, seperti sikap hormat dan saling menghormati serta bekerja keras dalam rangka meraih THE CULTURE OF EXCELLENCE.

 

Referensi

[1] D. Elkind and F. Sweet, “How to Do Character Education,” 2004.

[2] N. Bennett and G. J. Lemoine, “What a difference a word makes: Understanding threats to performance in a VUCA world,” Bus. Horiz., vol. 57, May 2014.