MATEMATIKA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTER BANGSA

MATEMATIKA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTER BANGSA

 

Zainnur Wijayanto

Pendidikan Matematika

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

zainnurw@ustjogja.ac.id/ FB dan IG: Zainnur Wijayanto

 

Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan terkait berbagai aspek kehidupan telah diungkap dan dibahas pada media massa, Selain itu, para pemuka masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa seperti itu adalah pendidikan. Pendidikan dipandang sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda dalam berbagai aspek sehingga dapat memperkecil dan mengurangi penyebab dari berbagai masalah budaya dan karakter bangsa.

Pengintegrasian pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah menuntut para guru dan sekolah untuk mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum, silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Pada prakteknya, pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa memerlukan berbagai perubahan dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung di sekolah saat ini. Meski demikian, perubahan itu tidak mengubah kurikulum yang berlaku, melainkan menghendaki sikap baru dan keterampilan baru dari para guru, kepala sekolah, dan konselor sekolah. Sikap dan keterampilan baru tersebut merupakan persyaratan untuk keberhasilan implementasi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Perubahan sikap dan penguasaan keterampilan yang dipersyaratkan ini selanjutnya dapat dikembangkan melalui pendidikan dalam jabatan yang terfokus, berkelanjutan, dan sistemik.

Pada kenyataan, lapangan pendidikan karakter penuh kontroversi saat perdebatan mempertanyakan apakah fokus darinya pada perbuatan-perbuatan yang dijunjung tinggi (kebajikan), nilai-nilai, perilaku-perilaku, atau kapasitas-kapasitas penalaran. Selain itu, kontroversi juga berpusar di sekitar beragam pendekatan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter: belajar dengan pengalaman, perdebatan rekan sebaya, pengajaran indoktrinatif, pelayanan masyarakat, pengelolaan yang melibatkan partisipan, membaca tentang karakter, dan sebagainya. Banyak dari perdebatan yang ada selama ini berakar pada berbagai perbedaan teoretis dan filosofis.

Namun demikian, barangkali jelas bahwa inti dari pendidikan karakter bukanlah perbedaan filosofis, ideologi pedagogis, politik, atau berbagai ketidakselarasan lainnya. Lebih tepatnya, pendidikan karakter adalah tentang perkembangan anak. Di dalam artikel ini, sebelum membahas pendidikan karakter secara khusus dalam kaitannya dengan mata pelajaran matematika, penulis mencoba untuk terlebih dahulu membahas apa arti dari karakter dan bagaimana karakter berkembang.

 

Pendidikan Karakter dalam Mata Pelajaran Matematika

Di dalam pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, kita melihat kecenderungan bahwa pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, termasuk matematika, diarahkan pada nilai-nilai tertentu yang dipandang lebih potensial untuk dikembangkan dalam mata pelajaran tertentu, atau mata pelajaran-mata pelajaran tertentu, bukan dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya. Saat ini, dalam pedoman tersebut dideskripsikan secara eksplisit delapan belas nilai.

Untuk matematika kelas 1-12, yang dibagi ke dalam empat jenjang (yaitu, jenjang kelas 1-3, 4-6, 7-9, dan 10-12), teramati bahwa pedoman tersebut mengintegrasikan secara keseluruhan enam nilai yang disebarkan untuk dikembangkan dalam matematika, yaitu kerja keras, tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu. Namun demikian, di dalam pedoman Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa tersebut, nilai-nilai tekun, teliti, dan pantang menyerah belum tercantumkan di antara delapan belas nilai yang dideskripsikan dan diuraikan ke dalam indikator-indikator.

Dengan mengikuti berbagai pedoman yang telah disediakan oleh pemerintah, tanpa lebih dahulu mempertanyakan kejelasan dari mana dan bagaimana nilai-nilai tertentu didefinisikan, diseleksi, dan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang dipandang sesuai untuk pengembangannya, maka selanjutnya kita dapat terorientasi untuk mulai menguraikan dan membahas pendidikan karakter dalam mata pelajaran matematika di Indonesia. Untuk maksud tersebut, pada bagian selanjutnya dibahas tentang hubungan antara matematika dan karakter serta hubungan antara mata pelajaran matematika dan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalamnya untuk melihat potensi hubungan yang saling menguntungkan di antara mata pelajaran matematika dan nilai-nilai tersebut.

 

Hubungan antara Matematika dan Karakter

Di dalam bagian ini dibahas tentang hubungan matematika dan karakter. Pada esensinya, di sini akan dijawab dua pertanyaan: Apakah matematika membangun karakter tertentu dalam diri seseorang? Dan, Apakah karakter tertentu diperlukan seseorang untuk mempelajari matematika? (Dalam hal ini, apa yang dimaksudkan dengan ‘karakter tertentu’ adalah keenam nilai yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika.) Dengan menyadari kompleksitas karakter dan perkembangan karakter, maka saya kemukakan secara eksplisit bahwa tulisan ini menjawab dua pertanyaan tersebut secara sederhana berdasarkan kajian sejarah kehidupan tiga tokoh matematikawan sebagaimana dituangkan dalam buku Men of Mathematics, karya E. T. Bell[1]. Pendekatan ini terutama dimaksudkan untuk melihat hubungan praktis antara matematika dan karakter berdasarkan kajian terhadap pelaku matematika sendiri, yaitu para matematikawan. Tiga tokoh matematikawan tersebut, berturut-turut, adalah Newton, Euler, dan Gauss.

Isaac Newton (1642-1727 M)

Berikut ini sebuah kutipan estimasi Newton, sang penulis Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, atau Prinsip-prinsip Matematis untuk Filsafat Alam, tentang eksistensi dirinya di hadapan keluasan semesta sains:

“I don’t know what I may appear to the world; but to myself I seem to have been only like a boy playing on the seashore, and diverting myself in now and then finding a smoother pebble or a prettier shell than ordinary, whilst the great ocean of truth lay all undiscovered before me.”

Dari tuturan di atas kita melihat bahwa bagi Newton alam semesta ini memiliki keluasan dan kedalaman yang penuh misteri. Bahkan dengan segala kemampuan, ketekunan, kerja keras, dan apa yang telah dicapainya dalam matematika dan fisika, dia belum memasuki wilayah sebenarnya dari pengungkapan misteri kebenaran.

Newton terlahir pada hari Natal tahun 1642 pada sebuah keluarga petani kecil tetapi berkecukupan di pedesaan Woolsthorpe, Lincoln, Inggris. Ayahnya, yang juga bernama Isaac, meninggal dunia saat Newton belum dilahirkan. Ibu Newton, seorang wanita yang rajin bekerja dan juga pengelola yang cakap, bernama Hannah Ayscough, selanjutnya menerima ajakan pernikahan Barnabas Smith; dan, Newton yang ketika itu berumur tiga tahun dibesarkan dalam asuhan neneknya.

Sejarah mencatatkan bahwa Newton terlahir prematur, dengan ukuran tubuh yang sangat kecil dan lemah. Saat kanak-kanak dia tidak sekuat anak-anak lain, dan oleh karena itu terpaksa menghindar dari permainan-permainan keras yang lazim diikuti anak-anak lain sebayanya. Meski demikian, dia menemukan caranya sendiri sebagai sebentuk pengalihan, di mana kejeniusannya mulai tampak. Newton memiliki kecenderungan luar biasa untuk mengikuti rasa ingin tahu dengan melakukan observasi dan bereksperimen sebagai sebentuk kesenangan kanak-kanaknya. Sebagai contoh, dia membuat layang-layang dengan lentera yang sanggup menakut-nakuti warga desa yang terlalu cepat beranggapan dan mudah percaya; selain itu, dia membuat sendiri mainan-mainan mekanis dengan konstruksi yang sempurna dan bekerja, misalnya, kincir air, kincir penumbuk gandum, jam matahari, dan jam kayu. Dengan karakternya yang demikian, Newton menarik perhatian teman-teman sebayanya ke arah yang lebih filosofis.

Pendidikan awal Newton diperoleh di Grantham Grammar School. Pada bulan Juni tahun 1661, dia masuk ke Trinity College, Cambridge, sebagai seorang mahasiswa yang membayar biaya kuliahnya dengan cara bekerja kepada universitas. Saat itu, Inggris sedang dikacaukan oleh perang saudara dan restorasi monarki.

Catatan prestasi Newton pada masa kuliahnya tidak luar biasa. Dia tidak memicu ketakjuban teman-temannya. Surat-surat singkat yang dia buat pun tidak mengungkapkan sesuatu yang besar. Dua tahun pertamanya digunakan untuk menguasai matematika dasar. Tidak ada laporan terpercaya yang menyebutkan kematangan tiba-tiba dari Newton sebagai penemu besar kelak. Saat di Cambridge, Newton sesekali menghabiskan waktu untuk bersantai. Dia memperoleh gelar sarjananya pada bulan Januari tahun 1664.

The Great Plague, atau wabah bubonik, pada tahun 1664-65, dan arus ulangnya pada tahun berikutnya, menyebabkan Universitas Cambridge ditutup. Newton pulang ke Woolsthorpe dan tinggal kembali di sana selama hampir dua tahun. Pada selang waktu inilah dia menemukan metode fluksi (kalkulus), hukum gravitasi alam semesta, dan membuktikan berdasarkan metode eskperimen bahwa cahaya putih tersusun dari cahaya semua warna. Pada rentang tiga tahun, yaitu periode 1664-66, Newton meletakkan fondasi bagi semua kerja dia selanjutnya dalam sains dan matematika. Ini semua berhasil dicapainya saat dia berumur dua puluh empat tahun (atau kurang).

Tahun 1684-86 menandai salah satu periode besar dalam sejarah pemikiran umat manusia. Terbujuk oleh Halley, Newton pada akhirnya sepakat untuk mempublikasikan temuan-temuan astronomi dan dinamikanya. Barangkali tidak ada manusia lain yang berpikir sekeras dan sedemikian terus menerus seperti yang dilakukan Newton saat menyusun Principia. Dia tidak memperdulikan kesehatan tubuhnya, seolah lupa bahwa tubuhnya memerlukan makanan dan tidur. Jam-jam makan diabaikannya, sebangun tidur yang sangat singkat dia kembali duduk dan bekerja. Pada tahun 1686, Principia dihadirkan ke hadapan the Royal Society, dan akhirnya pada tahun 1687 karya besar Newton tersebut dicetak dengan biaya dari Halley.

Selain ketekunan dan kerja keras selama delapan belas bulan yang dicurahkan Newton saat menyusun temuan-temuannya ke dalam Principia, berikut ini dua kejadian yang menjadi bukti vitalitas Newton dalam matematika:

Pada tahun 1696, Johann Bernoulli dan Leibniz mengajukan tantangan berupa dua persoalan matematis kepada seluruh matematikawan di Eropa. Salah satu persoalan itu adalah tentang brachistochrone (= “waktu terpendek”). Setelah soal itu membingungkan para matematikawan Eropa selama enam bulan, ia diajukan lagi, dan Newton mendengar tentangnya pertama kali tanggal 29 Januari 1696, dari seorang rekan yang menyampaikan kepadanya. Dia baru saja sampai di rumah, kelelahan setelah hari yang panjang di tempat kerjanya (yaitu, the Mint, atau lembaga pembuat uang). Selepas makan malam dia memecahkan persoalan tadi (dan juga soal yang kedua), dan pada keesokan harinya dia menyampaikan solusi-solusinya kepada the Royal Society, secara anonim, agar tidak diketahui identitasnya. Namun demikian, saat melihat solusi itu Bernoulli segera berteriak, “Ah! Aku mengenali singa itu dari cakarnya.”

 

Satu bukti lainnya terjadi pada tahun 1716, saat Newton berumur tujuh puluh empat tahun.

Leibniz dengan terburu-buru mengajukan apa yang tampak baginya merupakan sebuah persoalan yang sukar sebagai sebuah tantangan bagi para matematikawan Eropa, dan ditujukan khususnya kepada Newton. Inti dari persoalan ini adalah mencari lintasan-lintasan ortogonal bagi sebarang kurva dari rumpun satu-parameter (dalam bahasa modern). Newton menerima persoalan itu pada jam lima sore dalam kelelahan sepulang dari tempat kerjanya, dan segera memecahkannya pada malam itu juga. Kali ini Leibniz optimis menduga bahwa dia telah memerangkap sang singa. Namun ternyata sekali lagi dugaannya keliru.

 

Di sepanjang sejarah matematika, tidak ada yang lebih unggul dari Newton (dan barangkali tiada juga yang setara dengannya) dalam kemampuan mengkonsentrasikan semua daya pikir untuk mengatasi permasalahan yang dikajinya.

Léonard Euler (1707-1783 M)

Euler dipandang sebagai matematikawan yang paling subur berkarya dalam sejarah. Sebuah taksiran menyebutkan bahwa enam puluh hingga delapan puluh volume ukuran kuarto diperlukan untuk mempublikasikan kumpulan tulisannya. Dia dijuluki “inkarnasi analisis” oleh para matematikawan sejamannya. Euler menulis naskah-naskah matematika semudah seseorang menulis surat kepada sahabat dekat. Bahkan, kebutaan total yang dialaminya pada tujuh belas tahun terakhir dalam masa hidupnya tidak menghalangi produktivitasnya yang tidak tertandingi; sebaliknya, dapat dikatakan bahwa kebutaan itu telah mempertajam persepsi Euler ke alam imajinasi yang lebih dalam.

Léonard Euler, anak dari Paul Euler dan Marguerite Brucker, barangkali adalah tokoh sains terbesar yang pernah dimiliki Swiss. Dia dilahirkan pada tanggal 15 April 1707 di kota Basle. Sejak remaja Euler ingin menjadi matematikawan, tetapi dia dengan taat mengikuti anjuran ayahnya, yang juga adalah seorang matematikawan murid dari Jacob Bernoulli, untuk masuk ke Universitas Basle mempelajari bidang teologi. Meski demikian, kemampuan matematikanya yang sudah cukup maju ternyata menarik perhatian Johannes Bernoulli yang dengan murah hati memberi anak muda itu pelajaran privat matematika seminggu sekali. Dengan antusias, Euler menggunakan sisa waktunya setiap minggu untuk mempersiapkan diri menghadapi pertemuan matematika selanjutnya sehingga mampu menemui gurunya dengan sesedikit mungkin pertanyaan. Tidak berselang lama, ketekunan dan kemampuannya yang mencolok teramati oleh Daniel dan Nicolaus Bernoulli, yang kelak menjadi sahabat-sahabat setia Euler.

Léonard diperbolehkan untuk menikmati matematika sampai dia mengambil gelar master-nya pada tahun 1724 di usia ke tujuh belas, saat ayahnya bersikeras bahwa dia harus meninggalkan matematika dan mencurahkan seluruh waktunya untuk teologi. Namun demikian, pikiran Paul Euler, sang ayah, akhirnya berubah saat keluarga Bernoulli meyakinkan dirinya bahwa Euler ditakdirkan untuk menjadi seorang matematikawan besar, bukan seorang pastor di Riechen untuk meneruskan posisinya.

Karya tulis matematika Euler yang pertama dibuatnya pada usia sembilan belas tahun. Dikatakan bahwa upaya pertamanya ini menunjukkan baik kekuatan maupun kelemahan dari banyak garapan Euler pada waktu selanjutnya. Paris Academy mengajukan persoalan tiang layar utama kapal untuk memperebutkan penghargaan pada tahun 1727. Karya tulis Euler gagal memenangkan penghargaan, meski mendapatkan penyebutan kehormatan. Pada waktu selanjutnya dia menebus kekalahan itu dengan memenangkan perhargaan tersebut sebanyak dua belas kali. Kekuatan dari karya awal Euler itu adalah analisis yang dikandungnya—matematika teknis; di sisi lain, kelemahannya adalah jauhnya hubungan, jika ada, dengan praktikalitas.

Euler adalah salah satu dari sejumlah matematikawan yang dapat bekerja di mana pun dan dalam kondisi bagaimanapun, seperti halnya sang “jenius universal,” Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Euler sangat menyukai anak-anak (dia sendiri memiliki tiga belas orang anak, tetapi hanya lima saja yang tidak meninggal dunia sejak masih kecil), dan bahkan dia seringkali menulis risalah matematika dengan bayi di pangkuan sedangkan anak-anaknya yang lebih besar bermain di sekelilingnya. Begitu mudahnya dia menuliskan matematika yang paling sulit adalah sesuatu yang luar biasa.

Pada saat hidup di Rusia, sejak tahun 1727 Euler bergabung dengan St. Petersburg Academy, selain mencurahkan energinya untuk matematika, Euler juga menerapkan bakat-bakat matematikanya dalam bidang yang tidak terlalu jauh dari matematika murni. Euler menulis bukuteks-bukuteks matematika untuk sekolah-sekolah di Rusia, mengawasi departemen geografi pemerintah, membantu memperbaharui berat dan pengukuran, dan merancang cara-cara baru untuk menguji alat-alat timbang. Ini hanya sebagian kecil dari aktivitasnya di sana; namun demikian, seberapa pun sibuknya dia bekerja, Euler tidak berhenti menulis karya-karya matematika. Salah satu karya pentingnya pada periode ini adalah risalah tahun 1736 tentang mekanika. Risalah ini berkontribusi bagi mekanika layaknya kontribusi Descartes bagi geometri—membebaskannya dari demonstrasi sintetik dan menjadikannya analitik. Untuk pertama kalinya daya penuh kalkulus diarahkan pada mekanika dan era modern dalam sains dasar ini pun dimulai.

Pada tahun 1740, Euler bergabung dengan Berlin Academy atas undangan Frederick Agung. Di sana, bakat-bakat Euler diterapkan pada permasalahan praktis antara lain pembuatan uang logam, sistem pipa saluran air, kanal-kanal navigasi, dan sistem-sistem pensiun. Selanjutnya, tahun 1766, pada usia lima puluh sembilan tahun, Euler kembali ke St. Petersburg atas ajakan Catherine Agung. Pada tahun inilah sang inkarnasi analisis mulai kehilangan satu lagi indera penglihatannya (karena katarak), dan tidak lama kemudian dia mengalami kebutaan total. Peristiwa duka ini mengundang simpati dalam korespondensi dari Lagrange, D’Alembert, dan para matematikawan ternama lainnya. Namun demikian, Euler menjalani kebutaannya dengan tenang dan tabah. Keyakinan agama yang begitu dalam telah membantunya untuk menghadapi apa yang menimpanya. Dia tidak menyerah kepada kesunyian dan kegelapan.

Selama hidupnya Euler diberkahi daya ingat yang fenomenal, baik daya ingat penglihatan maupun pendengaran. Dia pun memiliki daya kalkulasi mental yang luar biasa, tidak hanya dalam aritmetik tetapi juga dalam kalkulasi lebih sukar yang dituntutkan aljabar tingkat tinggi dan kalkulus. Semua formula utama dari semua rentang matematika yang telah ada ketika itu tertanamkan secara akurat dalam ingatannya.

Bila kita lihat kembali kelimpahan karya yang dihasilkan oleh Euler, barangkali kita selintas memandang bahwa seseorang yang cerdas manapun dapat menghasilkan sebagian besar dari semua itu semudah Euler melakukannya. Namun itu tampaknya tidak benar. Matematika pada jaman sekarang sudah matang; di sisi lain, pada masa hidupnya, Euler mensistematisasikan dan menyatukan sedemikian banyak bidang yang tercerai beraikan oleh hasil-hasil parsial dan teorema-teorema yang terisolasi. Dia membongkar matematika yang ada ketika itu dan memadukan apa-apa yang berharga dengan daya analitisnya. Dia adalah seorang universalis matematika. Pada kenyataan, bahkan dewasa ini, sebagian besar dari matematika yang dipelajari di perguruan tinggi adalah sebagaimana Léonard Euler meninggalkannya. Salah satu kunci keberhasilan Euler sebagai seorang guru melalui karya-karyanya adalah ketiadaan rasa bangga yang berlebihan. Jika tulisan-tulisan tertentu dengan nilai intrinsik relatif kecil diperlukan untuk menjelaskan karya-karyanya yang dibuat lebih awal dan lebih impresif, dia tidak ragu untuk menuliskannya. Dia tidak takut sikap semacam itu menurunkan reputasinya.

 Carl Friedrich Gauss (1777-1855 M)

Archimedes, Newton, dan Gauss, ketiga matematikawan ini berdiri di kelas tersendiri di antara jajaran para matematikawan besar, dan masing-masingnya memicu gelombang-gelombang besar dalam matematika murni maupun matematika terapan. Archimedes menjunjung matematika murninya lebih tinggi daripada aplikasi-aplikasinya; Newton tampak menemukan justifikasi utama untuk invensi-invensi matematikanya pada penerapan matematika dalam sains, sedangkan Gauss menyatakan bahwa baginya bekerja dalam matematika murni maupun matematika terapan adalah sama saja. Namun demikian, Gauss mengangkat aritmetika tingkat lebih tinggi, pada masa itu merupakan studi-studi matematika yang paling tidak praktis, Ratu dari seluruh matematika.

Gauss dilahirkan kepada sebuah keluarga miskin di Brunswick, Jerman, pada tanggal 30 April 1777. Ayah Gauss, bernama Gerhard Diederich, seorang buruh kasar yang jujur dan tekun, bekerja sebagai juru taman, pemelihara kanal, dan tukang bangunan. Ibu Gauss, Dorothea Benz, adalah seorang wanita yang berkarakter kuat, cerdas, dan humoris. Pada masa kanak-kanak, perkembangan Gauss ke arah matematika dipengaruhi oleh pamannya, Friederich Benz, seorang pria yang sangat cerdas dan hangat. Perkembangan Gauss ke arah matematika selalu ditentang oleh ayahnya, tetapi ibunya berkeras hati untuk selalu mendukung Gauss. Saat ayahnya meninggal pada tahun 1806, Gauss telah berhasil sebuah mahakarya dalam matematika.

Di dalam sejarah matematika tidak ada yang mendekati kematangan sebelum waktunya seperti yang tampak pada diri Gauss saat dia masih sangat kanak-kanak. Tidak diketahui kapan Archimedes menunjukkan kejeniusannya pertama kali. Bukti paling awal dari bakat matematika tertinggi yang dimiliki Newton barangkali tidak teramati, tetapi Gauss menunjukkan kemampuan matematikanya yang luar biasa sebelum dia berumur tiga tahun. Sebuah laporan menuturkan:

Pada suatu Sabtu Gerhard Gauss sedang melakukan perhitungan daftar upah mingguan untuk para buruh bawahannya, tidak menyadari bahwa ternyata anak laki-lakinya kritis mengamatinya berhitung. Saat tiba di ujung perhitungannya, Gerhard begitu terkejut mendengar anak kecil itu lantang berbicara, “Ayah, hitungan itu salah, seharusnya . . . .” Setelah diperiksa kembali ternyata jumlah yang diucapkan oleh Gauss itulah yang benar.

 

Sebelum kejadian tersebut, Gauss kecil telah mempelajari pengucapan huruf-huruf dalam abjad dari kedua orang tuanya dan teman-teman mereka, dan kemudian dia belajar membaca sendiri. Tidak ada orang yang mengajarinya aritmetika, meski mungkin dia telah memahami makna dari angka-angka 1, 2, . . . bersama abjad. Pada masa dewasanya Gauss seringkali bergurau bahwa dia sudah mengetahui bagaimana berhitung sebelum dia dapat berbicara. Kemampuan luar biasa untuk kalkulasi mental yang sedemikian rumit tetap bertahan sepanjang hayatnya.

Gauss pertama kali masuk sekolah pada usia tujuh tahun. Tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi pada dua tahun pertama. Selanjutnya, pada usia sepuluh tahun, Gauss dibolehkan mengikuti kelas aritmetika. Karena kelas itu membahas aritmetika permulaan, maka tidak ada di antara murid-murid yang pernah mendengar istilah deret aritmetik. Berikut ini sebuah cerita tentang keunggulan nyata Gauss dalam matematika:

Suatu hari, guru di kelas itu, bernama Büttner, memberikan sebuah soal seperti berikut: 81297 + 81495 + 81693 + . . . + 100899, di mana selisih antara satu bilangan ke bilangan selanjutnya adalah sama (di sini yaitu 198), dan sejumlah bilangan tertentu (di sini 100) dijumlahkan. Baru saja Büttner selesai membacakan barisan bilangan dalam soal tersebut, Gauss sudah meletakkan papan kerjanya di atas meja, tanda bahwa dia telah selesai. Kemudian, selama jam berikutnya, saat anak-anak lain bekerja keras, dia duduk menunggu dengan santai, dan Büttner dari tadi garang memandangnya sesekali, membayangkan murid termuda di kelasnya itu hanyalah anak bodoh yang congkak. Pada sekitar akhir pelajaran, Büttner memeriksa semua jawaban. Pada papan kerja Gauss tertera satu bilangan saja. Dan, jawaban itu ternyata benar, sedangkan semua jawaban anak-anak lainnya salah.

 

Perkembangan matematika saat Gauss berumur sepuluh tahun selanjutnya dijalani bersama Johann Martin Bartels (1769-1836), seorang pemuda berumur tujuh belas tahun yang memiliki semangat dalam matematika. Mereka belajar bersama dan saling membantu untuk mengatasi kesukaran dan memperkuat bukti-bukti yang ditemukan dalam buku teks aljabar dan dasar-dasar analisis yang mereka miliki. Dari perkembangan ini, Gauss dengan cepat menguasai teorema binomial. Perkenalan dini Gauss dengan teorema binomial menjadi inspirasi baginya ke arah beberapa karya terbesarnya dan dia menjadi “rigoris” yang pertama. Tidak puas dengan apa yang dia dan Bartels temukan dalam buku teks, Gauss membuat sebuah bukti sendiri. Ini membawanya ke dalam analisis matematis. Esensi utama dari analisis adalah penggunaan proses-proses ketakhinggaan secara tepat.

Kerja selanjutnya yang bertolak dari sana adalah mengubah semua aspek dari matematika. Newton, Leibniz, Euler, Lagrange, Laplace—analis-analis terbesar pada masa mereka—praktis tidak memiliki konsepsi tentang apa yang sekarang diterima sebagai bukti yang melibatkan proses-proses ketak-hinggaan. Orang yang pertama kali melihat dengan jelas bahwa suatu “bukti” yang mengarah kepada absurditas-absurditas seperti “minus 1 samadengan infinitas” adalah Gauss. Bahkan jika dalam beberapa kasus sebuah formula memberikan hasil-hasil yang konsisten, formula itu tidak memiliki tempat dalam matematika sampai akhirnya syarat-syarat yang pasti pada mana formula itu akan terus menghasilkan konsistensi telah ditentukan.  Keketatan, atau rigor, yang Gauss terapkan pada analisis sedikit demi sedikit menaungi seluruh matematika, baik bagi dirinya sendiri maupun para matematikawan sejamannya—Abel, Cauchy—dan para penerus dirinya—Weierstrass, Dedekind, dan matematika setelah Gauss menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda dari matematika Newton, Euler, dan Lagrange.

Di dalam segi konstruktif, Gauss juga adalah seorang revolusionis. Sebelum sekolahnya selesai jiwa kritis yang telah membuatnya tidak puas dengan teorema binomial juga membawanya untuk mempertanyakan demonstrasi geometri dasar. Pada usia dua belas tahun dia telah mempertanyakan fondasi-fondasi geometri Euclidean; pada usia enam belas dia telah menangkap bayangan pertamanya tentang suatu geometri selain geometri Euclidean. Pada tahun berikutnya dia telah memulai kritikan terhadap bukti-bukti dalam teori bilangan yang telah memuaskan para pendahulunya dan memberinya tugas sangat berat untuk mengisi celah-celah dan melengkapi apa yang baru setengah jadi.

Pada tahun 1791, berkat bantuan dari Bartels dan dukungan dari relasi-relasinya, Gauss diterima oleh Carl Wilhelm Ferdinand, Duke Brunswick. Kesederhanaan dan sikap pemalu Gauss memikat duke yang dermawan itu yang kemudian memastikan bahwa studi Gauss akan dilanjutkan. Pada bulan Februari tahun berikutnya, Gauss mengikuti matrikulasi di Collegium Carolinum di Brunswick. Dia kemudian memasuki Caroline College pada usia lima belas tahun dan belajar di sana selama tiga tahun. Pada periode inilah dia mempelajari karya-karya penting dari Euler, Lagrange dan, terutama, Principia karya Newton. Pada masa ini pula dia telah mulai mengkaji aritmetika lebih tinggi yang membuatnya abadi. Daya kalkulasi matematisnya yang luar biasa kini berperan. Dengan berangkat langsung ke bilangan-bilangan dia bereksperimentasi, menemukan secara induksi teorema-teorema umum tersembunyi yang mana bukti-buktinya memerlukan upaya lebih besar lagi. Dia pun menemukan kembali “permata aritmetika,” yang Euler juga temukan secara induktif, dikenal sebagai hukum resiprisitas kuadratik. Gauss adalah yang pertama kali membuktikannya (pada usia sembilan belas tahun) dengan memperkenalkan suatu perbaikan revolusioner dalam peristilahan dan notasi arimetik, yaitu kongruensi.

Pada saat Gauss meninggalkan Caroline College, Oktober 1795 di usia delapan belas tahun, untuk memasuki Universitas Göttingen, dia masih belum memutuskan apakah akan menjadikan matematika atau filologi sebagai dunia kerjanya. Tanggal 30 Maret 1796 menandai titik balik dalam karir Gauss, di mana akhirnya Gauss memutuskan matematika sebagai karir hidupnya. Setelah keputusan tersebut Gauss mulai membuat sebuah buku harian ilmiah (Notizenjournal), salah satu dokumen paling berharga dalam sejarah matematika. Bagian pertama dari buku harian ini mencatatkan temuan besarnya.

Buku harian ini baru beredar di kalangan ilmiah pada tahun 1898, empat puluh tiga tahun setelah Gauss wafat, saat Royal Society of Göttingen meminjamnya dari seorang cucu Gauss untuk dikaji secara kritis. Dokumen ini berisi sembilan belas halaman oktavo kecil dan memuat 146 catatan sangat singkat tentang temuan-temuan atau hasil-hasil kalkulasi, dengan tanggal terakhir 9 Juli 1814. Tidak semua temuan Gauss pada periode tahun 1796-1814 dicatatkan. Namun demikian, banyak dari yang tercantum di sana sudah memadai untuk menetapkan lebih awalnya kontribusi Gauss dalam lapangan-lapangan matematika yang beberapa matematikawan sejamannya tidak terima bahwa Gauss telah mendahului mereka.

Mengapa Gauss hanya menyimpan temuan-temuan besar yang terungkap olehnya? Gauss menuturkan bahwa dia melakukan kerja ilmiah hanya sebagai respon terhadap dorongan dirinya yang terdalam, dan perkara dipublikasikan atau tidaknya hasil kerja itu kepada orang lain hanya merupakan pertimbangan kedua. Selain itu, dia menyatakan bahwa kelimpahan gagasan baru membanjiri pikirannya sebelum dia berumur dua puluh tahun sehingga dia jarang dapat mengendalikan dan memiliki waktu untuk menuliskannya kecuali hanya sedikit saja. Buku harian Gauss berisi hanya pernyataan-pernyataan akhir yang ringkas sebagai hasil dari kajian-kajian yang mendalam, beberapa di antaranya menghabiskan waktu selama berminggu-minggu.

Dengan merenungkan, ketika dia masih belia, rantai-rantai bukti sintetik yang erat dan kokoh di mana Archimedes dan Newton telah menjinakkan inspirasi-inspirasi mereka, Gauss memilih untuk mengikuti teladan mereka dan menyampaikan hanya hasil kerja-hasil kerja yang sudah matang, sempurna, kepada mana tidak ada yang dapat ditambahkan dan dari mana tidak ada yang dapat diambil tanpa lebih dahulu menguraikan keseluruhannya. Hasil kerja itu sendiri harus bersifat tegas, lengkap, sederhana, dan meyakinkan, tanpa meninggalkan jejak kerja dengan mana hasil itu telah dicapai. Bekerja dengan idealisme demikian, Gauss lebih suka untuk memoles karyanya beberapa kali daripada mempublikasikan hanya garis besarnya. Kalimat jaminannya, pohon dengan sedikit buah, bermotto Pauca sed matura (Sedikit, tetapi matang).

Periode tiga tahun (Oktober 1795-September 1798) di Universitas Göttingen adalah masa yang paling subur dalam kehidupan Gauss. Berkat kedermawanan Duke Ferdinand, Gauss muda tidak perlu khawatir tentang persoalan keuangan. Dia melarutkan diri dalam studinya dan hanya bergaul dengan sedikit teman, salah satunya adalah Wolfgang Bolyai. Berbagai gagasan yang telah membanjiri pikiran Gauss sejak berumur tujuh belas tahun akhirnya tertangkap—sebagian—dan direduksi ke dalam keteraturan. Sejak 1795 dia telah memikirkan sebuah karya besar tentang teori bilangan. Ini kemudian mewujud, dan pada tahun 1798 sebuah mahakarya yang berjudul Disquisitiones Arithmeticae akhirnya secara praktis selesai ditulis oleh Gauss.

Suatu waktu pada masa tuanya Gauss berkata, “Disquisitiones Arithmeticae telah mewujud ke dalam sejarah,” dan dia benar. Arahan baru telah diberikan pada aritmetika tingkat lebih tinggi dengan publikasi Disquisitiones, dan teori bilangan, yang pada abad ketujuh belas dan delapan belas hanya merupakan kumpulan dari berbagai hasil khusus yang tidak terkoneksikan, mendapatkan koherensi dan terangkat martabatnya sebagai sains matematika yang sejajar dengan aljabar, analisis, dan geometri.

Selain kontribusi besar bagi aritmetika, Gauss juga menyumbang kepada kemajuan-kemajuan besar dalam geometri dan aplikasi-aplikasi matematika pada geodesi, teori gaya tarik Newton, dan elektromagnetisme. Dia juga adalah penemu telegraf listrik pada tahun 1833 bersama Wilhelm Weber (1804-1891). Di bidang statistika saat ini kita mengenal nama Gauss terkait hukum distribusi normal untuk galat-galat dan kurva bentuk gentanya. Bagaimana mungkin satu orang dapat mencapai sedemikian banyak karya kolosal tingkat tinggi seperti itu? Dengan sederhana Gauss menjawab, “Jika orang lain mau merenungkan kebenaran-kebenaran matematis secara mendalam dan terus-menerus seperti saya telah lakukan, mereka akan juga mengungkap temuan-temuan itu.” Sebagian rahasia Gauss adalah kemampuannya untuk berkonsentrasi secara intensif dan panjang dalam pikirannya. Selain itu, Gauss pun unggul dalam ketelitian observasi dan daya inventif sains yang memungkinkan dirinya untuk merancang instrumen bagi penelitian ilmiahnya. Kombinasi kejeniusan matematis dan kemampuan eksperimental yang luar biasa adalah sesuatu yang paling jarang dalam semua sains.

Demikian rangkuman kajian sejarah kehidupan tiga tokoh matematikawan besar—Newton, Euler, dan Gauss—yang materinya difokuskan untuk menjawab dua pertanyaan terkait hubungan antara matematika dan karakter. Untuk pertanyaan pertama, “Apakah matematika membangun karakter tertentu dalam diri seseorang?” kita melihat bahwa ketiga matematikawan tadi dalam perjalanan hidupnya, terkait pertanyaan ini terutama pada masa dewasanya, memang menunjukkan nilai-nilai rasa ingin tahu, kerja keras, tekun, teliti, kreatif, dan pantang menyerah. Jadi, secara praktis matematika memang membangun karakter tententu dalam diri seseorang. Tetapi, kita tidak dapat menarik suatu hubungan kausalitas di sini. Seperti kita ketahui, karakter dan perkembangan karakter seseorang ditentukan dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain keluarga (terutama kedua orang tua), pendidikan atau sekolah, teman-teman, masyarakat (termasuk media), agama, dan bahkan faktor-faktor biologis, misalnya genetik.

Selanjutnya, pertanyaan kedua, “Apakah karakter tertentu diperlukan untuk mempelajari matematika?” dapat dijawab dengan bertitik tolak dari pernyataan bahwa matematika adalah sebuah mata pelajaran yang sulit untuk diajarkan maupun dipelajari (Cockcroft, 1982). Salah satu alasan mengapa demikian adalah karena matematika merupakan pelajaran yang sangat hierarkis (Romberg, 1983). Secara hipotetis barangkali kita setuju bahwa nilai-nilai rasa ingin tahu, kerja keras, tekun, teliti, kreatif, dan pantang menyerah diperlukan untuk memahami matematika, terlebih lagi untuk menguasai dan mengembangkannya. Misalnya, orang yang tidak memiliki atau tidak mengembangkan rasa ingin tahu terhadap matematika tidak akan tertarik ke arah matematika, cenderung menjauh dari matematika, atau mempelajari matematika hanya karena keterpaksaan. Oleh karena itu, rasa ingin tahu tampaknya merupakan syarat yang perlu untuk mempelajari matematika. Namun demikian, rasa ingin tahu saja belum cukup untuk mempelajari matematika secara berhasil, kecuali bagi segelintir orang yang sangat berbakat dan terkondisikan ke arah pencapaian. Keberhasilan dalam mempelajari matematika tidak lepas dari kehadiran nilai-nilai kerja keras, tekun, teliti, kreatif, dan pantang menyerah dalam diri seseorang.

 

Hubungan antara Mata Pelajaran Matematika dan Nilai-nilai Tertentu Yang Diintegrasikan Ke Dalamnya

Dokumen-dokumen Standards yang dikeluarkan oleh NCTM menekankan bahwa matematika seharusnya untuk semua siswa—tanpa memperbedakan jenis kelamin, ras, status sosioekonomi, atau faktor-faktor lain apa pun yang mungkin telah menyebabkan ketidakadilan. Gagasan ini merupakan suatu undangan bagi siswa-siswa yang lebih kuat maupun yang lebih lemah untuk membangun kemampuan-kemampuan matematis mereka dan juga merupakan suatu tantangan bagi para guru untuk melihat bagaimana menjadikan pembelajaran matematika aksesibel bagi semua siswa.

Saat kita memegang keyakinan bahwa matematika untuk semua siswa, maka kita perlu memperhatikan penelitian tentang pembelajaran matematika yang efektif. Di dalam kumpulan penelitian tersebut terdapat banyak sekali evidensi tentang bagaimana mengatur kelas, bagaimana mengangkat masalah-masalah yang bermakna dan memotivasi, serta bagaimana menggunakan teknologi dan strategi-strategi pembelajaran seperti belajar kooperatif untuk mewadahi gaya belajar dan tingkat kepercayaan diri para siswa yang sangat beragam di ruang kelas. Pada prakteknya, penekanan pembelajaran matematika masa kini adalah pada aktivitas matematika, “doing mathematics,” yang menyangkut kemampuan-kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, representasi, dan pemahaman konseptual.

Untuk menghubungkan sifat mata pelajaran matematika seperti diuraikan di atas dengan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalamnya, kita lebih dahulu tafsirkan keenam nilai itu—rasa ingin tahu, kerja keras, tekun, teliti, kreatif, dan pantang menyerah—dalam suatu perspektif yang menjelaskan hubungan antara nilai-nilai dan motivasi perilaku. Berikut ini ditampilkan tabel muatan nilai, atau value content, yang dirumuskan oleh Schwartz & Sagie [2], di mana dicantumkan sepuluh kelompok nilai motivasional yang cenderung berlaku konsisten dalam beragam budaya.

TABEL 1.  Daftar Muatan Nilai, atau Value Content, dari Schwartz & Sagie (2000)

DESKRIPSI

DEFINISI

Pengarahan-diri

Nilai-nilai terminal: Pemikiran dan tindakan bebas (memilih, menciptakan, mengeksplorasi)

Nilai-nilai instrumental: Kreatif, bebas, mandiri, rasa ingin tahu, memilih tujuan sendiri

Stimulasi

Nilai-nilai terminal: Kehidupan yang beragam, menantang dan menarik

Nilai-nilai instrumental: menantang, baru, menarik

Hedonisme

Nilai-nilai terminal: Kesenangan dan menikmati kehidupan

Nilai-nilai instrumental: Kepuasan inderawi, permainan

Pencapaian/Prestasi

Nilai-nilai terminal: Kesuksesan pribadi melalui unjuk kompetensi berdasarkan standar-standar sosial

Nilai-nilai instrumental: Ambisi, pengaruh

Kekuasaan

Nilai-nilai terminal: Status dan gengsi sosial, kendali atau posisi dominan terhadap orang lain dan sumber-sumber daya

Nilai-nilai instrumental: Kekuatan sosial, kewenangan, kekayaan

Keamanan

Nilai-nilai terminal: Keamanan; keselarasan; dan kestabilan masyarakat, hubungan dengan sesama, dan diri sendiri

Nilai-nilai instrumental: Keamanan keluarga, keamanan nasional, ketertiban sosial, kebersihan, timbal-balik kebajikan

Keselarasan

Nilai-nilai terminal: Pengendalian diri atas berbagai tindakan, kecenderungan, dan dorongan hati yang cenderung mengganggu atau membahayakan orang lain dan melanggar harapan atau norma sosial

Nilai-nilai instrumental: Disiplin diri, kepatuhan, kesopanan, menghargai  kedua orang tua dan orang lain yang lebih tua

Tradisi

Nilai-nilai terminal: Penghargaan, komitmen, dan penerimaan terhadap adat, kebiasaan, dan gagasan-gagasan yang berakar pada budaya tradisional atau agama

Nilai-nilai instrumental: Menerima posisi diri, kerendahan hati, setia pada tradisi, menghargai tradisi, sikap sederhana

Kebajikan

Nilai-nilai terminal: Pemeliharaan dan perbaikan kesejahteraan orang-orang dengan siapa seseorang sering melakukan kontak pribadi

Nilai-nilai instrumental: Senang menolong, kejujuran, sikap memaafkan, kesetiaan, tanggung jawab

Universalisme

Nilai-nilai terminal: Pengertian, apresiasi, toleransi, dan perlindungan kesejahteraan bagi semua orang dan alam

Nilai-nilai instrumental: Berpikiran luas, bijak, keadilan sosial, kesetaraan, perdamaian dunia, dunia yang indah, kebersatuan dengan  alam, perlindungan lingkungan

(Diadaptasi dari Shalom H. Schwartz & Galit Sagie, 2000)

Berdasarkan Tabel 1 kita melihat bahwa nilai-nilai rasa ingin tahu dan kreatif secara eksplisit masuk ke dalam kelompok nilai motivasional pengarahan diri, sedangkan  nilai-nilai kerja keras, tekun, teliti, dan pantang menyerah disimpulkan cenderung masuk ke dalam kelompok nilai motivasional pencapaian/prestasi. Kedua nilai motivasional tersebut orientasinya lebih cenderung kepada individu daripada sosial, seperti tersimpulkan dari nilai-nilai terminalnya.

Selanjutnya, “Hubungan seperti apakah yang hendaknya dibangun antara mata pelajaran matematika dan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalamnya?” Tentu saja, suatu hubungan positif.  Dari suatu perspektif yang ideal, pengintegrasian dan pengembangan nilai-nilai tertentu ke dalam mata pelajaran matematika hendaknya berkontribusi pada peningkatan pencapaian belajar matematika siswa. Di sisi lain, pembelajaran matematika hendaknya dirancang sedemikian hingga mengakomodasi pengembangan nilai-nilai itu. Pertanyaan yang selanjutnya muncul, “Apakah harapan suatu hubungan seperti itu secara praktis dapat diwujudkan?” Dalam hal ini, guru memiliki peran yang signifikan.

Hubungan positif yang saling memperkuat di antara mata pelajaran matematika dan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalamnya tampaknya berpotensi besar untuk diwujudkan dengan melihat beberapa alasan sebagai berikut: (1) Kajian tentang kehidupan Newton, Euler, dan Gauss menunjukkan bahwa nilai-nilai rasa ingin tahu, kerja keras, tekun, teliti, kreatif, dan pantang menyerah memang dimiliki dan merupakan perilaku kerja dari ketiga tokoh matematikawan besar dalam sejarah tersebut, meski pada akhirnya kesuksesan mereka dalam matematika tidak lepas dari anugerah bakat-bakat khusus antara lain daya ingat yang fenomenal, kemampuan kalkulasi mental yang kompleks, kemampuan konsentrasi tingkat tinggi, dan daya inventif yang luar biasa; (2) Nilai motivasional pengarahan diri dan nilai motivasional pencapaian/prestasi yang terkandung dalam enam nilai itu cocok dengan sifat belajar matematika, meski tampak bahwa selain keenam nilai tersebut, keberhasilan untuk mempelajari matematika—sebagaimana tercermin dalam sejarah kehidupan matematikawan—menuntut pula pengembangan nilai-nilai lain, misalnya gemar membaca dan kerja sama. Alasan yang ketiga, (3) Mata pelajaran matematika masa kini dikembangkan dengan berbagai teknik dan strategi pembelajaran yang sedemikian melibatkan tantangan, eksplorasi, dan penemuan hingga sesuai untuk mengakomodasi nilai-nilai yang memiliki muatan nilai pengarahan diri dan pencapaian.

Jika suatu hubungan positif  berhasil diwujudkan, maka para siswa akan lebih berhasil dalam mempelajari matematika, dan pada waktu bersamaan, secara bertahap, mata pelajaran matematika berkontribusi bagi pembentukan karakter pribadi-pribadi masa depan yang memiliki nilai-nilai yang berorientasi kepada kemandirian, eksplorasi, penemuan dan prestasi, sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, dan bangsa. Tampaknya inilah benang merah “matematika sebagai fondasi untuk membangun karakter bangsa.”

 

Referensi

[1] Bell, E.T. (1986). Men of Mathematics. New York: Simon and Schuster.

[2] Schwartz, S.H., & Sagie, G. (2000). “Value Consensus and Importance: A Cross National Study,” Journal of Cross-cultural Psychology 31, 465-70.