Memperingati 98 Tahun Perguruan Tamansiswa

MEMPERINGATI 98 TAHUN PERGURUAN TAMANSISWA

 

Prof. Pardimin, M.Pd., Ph.D.

Waketum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa

Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

 

 

Sejarah berdirinya Perguruan Tamansiswa berawal dari keikutsertaan RM Soewardi Soerjaningrat yang kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1921 tergabung dalam perkumpulan Selasa Kliwonan  yang dipimpin oleh  Ki Ageng Suryomataram, dengan tujuan Mamayu hayuning Sarira, Bangsa dan Manungsa/Bawana (Mencita-citakan kebahagiaan bagi diri pribadi, bangsa dan umat manusia sedunia). Pada perkumpulan tersebut, mulai timbul gagasan untuk memecahkan persoalan tentang cara mencapai kemerdekaan melalui perjuangan dalam bidang pendidikan yaitu pendidikan jiwa merdeka. Pada tanggal  3 Juli 1922 bertempat di Yogyakarta Ki Hadjar Dewantara dengan dibantu oleh  Nyi Hadjar, Soetatmo Soeryokoesoemo, Soeryo Poetro, Soebono, Pronowidigdo, Soetopo Wonoboyo, Tjokrodirjo dan tokoh  lainnya mendirikan Perguruan Tamansiswa sebagai upaya perjuangan meraih kemerdekaan melalui kebudayaan dan pembangunan masyarakat dengan menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai masyarakat yang tertib damai, salam dan bahagia.  Tamansiswa mengusung konsep pendidikan yang berdasar pada garis hidup bangsa yang ditujukan untuk keperluan kehidupan dan mengangkat derajat hidup bangsa Indonesia. Pendidikan bagi Tamansiswa merupakan media/sarana untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia yang merdeka lahir dan batinnya. Tamansiswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya pendidikan Tamansiswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.

Dalam perjalanannya Tamansiswa mengalami pasang surut. Pada zaman sebelum kemerdekaan, Tamansiswa berkembang dengan pesat karena sifatnya yang berpihak pada rakyat kecil. Namun perkembangan yang pesat  menyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda pada saat itu khawatir tentang keberadaan Tamansiswa sebagai tempat pemupukan kader kader bangsa dimasa mendatang, yang menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme.  Hal ini disinyalir  akan mengancam dan dapat  menumbangkan kekuasaan kolonial, sehingga pada tahun 1932 dikeluarkanlah UU Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonantie). Pemerintah Kolonial mengeluarkan ordonansi melarang sekolah liar dan  sekolah Tamansiswa termasuk yang dianggap liar. Adanya aturan tersebut  menimbulkan perlawanan dari Tamansiswa dan  kaum pergerakan nasional karena dianggap sangat merugikan rakyat. Perlawan tersebut akhirnya dapat membuahkan hasil dan Tamansiswa dapat melewati masa-masa sulit dan terus berjuang melanjutkan tujuannya. Pada masa setelah kemerdekaan  sampai dengan saat ini, Tamansiswa terus berjuang dalam menghadapi hambatan dan tantangan yang terjadi. Hambatan dari internal di antaranya adalah krisis kepemimpinan  karena terjadi kesenjangan generasi di lingkungan Tamansiswa. Hambatan dan tantangan  Tamansiswa lainnya  yaitu kondisi sekolah pada cabang cabang Tamansiswa yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia pada saat ini  banyak yang kondisinya kritis dan memprihatinkan bahkan ada yang terpaksa tutup.  Keberadaan sekolah Tamansiswa  di berbagai daerah merupakan sekolah perintis Pendidikan di Indonesia yang seharusnya  didukung penuh oleh pemerintah.  

Tamansiswa akan terus berjuang hingga masa yang akan datang. Pendidikan Tamansiswa akan memberi warna bagi sistem Pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang berjiwa merdeka adalah  konsep pendidikan Tamansiswa. Pendidikan harus memerdekakan anak didik (merdeka batinnya, merdeka tenaganya dan merdeka pikirannya) yaitu dengan menerapkan sistem among yaitu sebuah sistem yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan pada kodrat alam dan kemerdekaan, menurut cara berlakunya sistem ini disebut Tut Wuri Handayani. Pendidikan dilaksanakan dengan melibatkan tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat), kerjasama antar pusat Pendidikan ini  penting dilaksanakan karena pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Pendidikan harus memupuk rasa kebangsaan, yang merupakan unsur fundamental dalam mempersatukan bangsa. Pendidikan harus dilaksanakan dengan mengangkat dan mengumandangkan kemampuan dan keunggulan khas budaya Nasional Indonesia, kekayaan dan potensi serta keunikan sumber daya alam Indonesia yang diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran.

Ajaran Tamansiswa akan diaktualisasikan dan  disosialisasikan kepada masyarakat luas agar membumi dengan memegang  prinsip SBII. Sifat Tamansiswa sebagai badan perjuangan kebudayaan, yang menjunjung tinggi sikap nasionalisme dan cinta pada ibu pertiwi tidak akan berubah dan akan terus ditanamkan dan diintegrasikan dalam penyelenggaraan pendidikan pada setiap jenjang. Sedangkan bentuk, isi dan irama dapat berubah secara dinamis mengikuti kemajuan zaman. Memasuki   usia 98 tahun, Tamansiswa masih harus berbenah terutama dalam mengatasi hambatan dan tantangan internal dan eksternal agar tetap eksis dan  dapat terus berkontribusi  terhadap Pendidikan di Indonesia.  Tamansiswa  bersifat  kooperatif dan bersinergi dengan pemerintah dalam mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional yang memerdekakan. Tamansiswa bersifat konsultatif, siap memberikan pertimbangan dan sumbangsih pemikiran  terhadap kebijakan yang akan diambil pemerintah untuk kemajuan bangsa.  Tamansiswa juga  bersifat korektif,   diminta atau tidak  tetap mengoreksi program dan kebijakan pemerintah agar berjalan sesuai tujuan yang ditetapkan. Pada momentum ini, Tamansiswa juga berharap kepada pemerintah  agar dapat  memberikan dukungan kepada Perguruan Tamansiswa yang merupakan perintis pendidikan Indonesia. Dukungan pemerintah sangat diperlukan terutama untuk membantu eksistensi keberadaan sekolah di cabang-cabang Tamansiswa yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia agar tetap dapat melaksanakan tugasnya menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa dan  membantu pemerintah  dalam pemerataan Pendidikan.

Yogyakarta, 3 Juli 2020