ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY

ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY

 

Dafid Slamet Setiana

Pendidikan Matematika

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

dafid.setiana@ustjogja.ac.id

 

 

Pendahuluan

Salah satu realisasi pembelajaran kreatif dan bermakna dilaksanakan melalui pembelajaran berbasis budaya. Hal tersebut sangat beralasan karena pembelajaran berbasis budaya menjadikan pembelajaran bermakna kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya. Pembelajaran berbasis budaya juga menjadikan pembelajaran menarik dan menyenangkan[1]. Apalagi pada Kurikulum 2013 yang menonjolkan peningkatan kemampuan siswa terhadap budaya dan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran yang menarik dan mudah dipahami dapat membantu agar siswa lebih memahami materi pembelajaran. Metode yang inovatif dalam proses pembelajaran dikombinasikan dengan kegiatan bermuatan budaya membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan.

Nilai budaya yang merupakan landasan karakter bangsa merupakan hal yang penting untuk ditanamkan dalam setiap individu, untuk itu nilai budaya ini perlu ditanamkan sejak dini agar setiap individu mampu lebih memahami, memaknai, dan menghargai serta menyadari pentingnya nilai budaya dalam menjalankan setiap aktivitas kehidupan. Penanaman nilai budaya bisa dilakukan melalui lingkungan keluarga, pendidikan, dan dalam lingkungan masyarakat tentunya.

Matematika dapat dikaji secara luas. Seperti kajian dalam aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun aspek lainnya. Salah satu aspek yang akhir-akhir ini banyak dikaji dan diperbincangkan dalam bidang pendidikan matematika yaitu aspek budaya. Pada budaya manusia, umumnya matematika merasuk kedalam budaya tersebut namun manusia jarang menyadari bahwa matematika telah merasuki budaya mereka. Menurut Bishop[2], matematika merupakan suatu bentuk budaya. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada. Selanjutnya pada hakekatnya matematika merupakan teknologi simbolis yang tumbuh pada ketrampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai matematika dalam budaya perlu dikembangkan sehingga dapat memberikan gambaran pada masyarakat berbudaya mengenai peranan matematika dalam budayanya.

Bagaimana menghubungkan antara pengalaman hidup siswa dan dunia matematika formal menjadi tantangan besar pendidikan matematika saat ini. Dalam hal ini, kajian etnomatematika memainkan peranan penting dalam usaha membangun hubungan antara pengalaman hidup siswa yang kongkret dengan dunia matematika yang abstrak melalui integrasi budaya dan tradisi dalam pembelajaran matematika. Sesuai dengan pendapat D’Ambrosio  yang menyatakan bahwa etnomatematika dianalogikan sebagai lensa untuk memandang dan memahami matematika sebagai suatu hasil budaya atau produk budaya[3]. Etnomatematika mencakup ide-ide matematika, pemikiran dan praktik yang dikembangkan oleh semua budaya. Tujuan dari etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan modus yang berbeda dimana budaya yang berbeda merundingkan praktik matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya)[4]. Etnomatematika memunculkan kearifan budaya sehingga mampu memotivasi siswa dalam pembelajaran matematika.

Anak-anak mengikuti suatu pola tingkatan alamiah ketika mereka belajar maupun dalam proses perkembangannya. Sebagai contoh anak-anak mengalami pola yang sama pada perkembangan mereka dari belajar merangkak, berjalan, lalu berlari, dan melompat dengan kecepatan dan kecekatan yang terus meningkat seiring dengan perkembangan fisiknya. Sama halnya dalam proses belajar mereka. Misalnya, dalam belajar matematika, mereka juga mengikuti suatu pola tingkatan alamiah, yakni belajar kemampuan-kemampuan dan ide-ide matematika dengan cara mereka sendiri. Ketika guru memahami pola tingkatan alamiah serta aktivitas-aktivitas yang tersusun di dalamnya, maka mereka telah membangun suatu lingkungan belajar matematika yang tepat dan efektif. Pola tingkatan alamiah tersebut merupakan dasar dalam membuat learning trajectories atau lintasan belajar.

Selama ini, banyak guru pesimis dengan siswa dan tidak berani menggunakan strategi pembelajaran yang menantang. Guru beranggapan bahwa siswa tidak akan dapat diajak untuk berpikir sesuatu yang menantang. Meninjau penemuan Clements & Sarama, tampak bahwa anak-anak memiliki potensi untuk belajar matematika[5]. Yang diperlukan guru adalah keberanian untuk mengeksplor kemampuan dan memahami perkembangan anak-anak. Penting untuk mengembangkan kemampuan mengajar matematika dengan baik. Istilah learning trajectory digunakan untuk menggambarkan transformasi belajar yang dihasilkan dari partisipasi dalam aktivitas belajar matematika. Selanjutnya trajectory dari aktivitas untuk keseluruhan pembelajaran, berkisar seputar aktivitas belajar khusus yang mungkin hanya digunakan sebagai bagian dari pembelajaran matematika di kelas. Matematika sangat penting bagi keberhasilan anak dalam sekolah, di kelas dasar dan dalam pembelajaran masa depan. Lintasan belajar dapat dimanfaatkan sebagai alat yang tepat untuk melibatkan semua anak dalam menciptakan dan memahami matematika.

Mengembangkan etnomatematika dalam nuansa learning trajectory (lintasan belajar) berarti menanamkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya secara kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan tahapan-tahapan belajar yang sesuai dengan perkembangan proses berpikir siswa, metode yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan. Dengan demikian diharapkan siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep matematika bermuatan budaya. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis akan mengkaji berkaitan dengan pengembangan etnomatematika berorientasi pada learning trajectory.

 

Etnomatematika

Etnomatematika adalah sebuah studi yang mengkaji hubungan antara matematika dan budaya. Matematika sebagai ilmu dasar pun berkembang di seluruh negara. Setiap negara mempunyai budaya (culture) yang berbeda sehingga perkembangan matematika pun berbeda-beda karena dipengaruhi oleh culture yang ada.

Studi etnomatematika adalah suatu kajian yang meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis [6].

Etnomatematika juga didefinisikan sebagai matematika yang digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat/budaya, seperti masyarakat kota dan desa, kelompok-kelompok pekerja/buruh, golongan profesional, anak-anak pada usia tertentu, masyarakat pribumi, dan masih banyak kelompok lain yang dikenali dari sasaran/tujuan dan tradisi yang umum dari kelompok tersebut[7]. Kajian etnomatematika  yang begitu luas, menyebabkan  etnomatematika dianggap sebagai salah satu dari dua pusat pemikiran untuk memahami matematika[8]. Hal tersebut menimbulkan gagasan bahwa peranan  etnomatematika seharusnya memiliki pengaruh yang lebih luas dalam masyarakat dan pendidikan khususnya pendidikan matematika. Peranan tersebut sebenarnya sangat nyata sekali, tetapi hal terpenting adalah bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk menampilkan konsep matematika yang ada dalam  etnomatematika  kedalam kegiatan pembelajaran, sehingga konsep tersebut dapat berhubungan secara langsung dengan budaya siswa dan dengan pengalamannya sehari-hari[9]. Jika kita dapat melakukannya, maka akan terciptalah sebuah pendekatan  etnomatematika dalam pembelajaran matematika dan diharapkan mampu membuat matematika di sekolah lebih relevan dan penuh makna bagi siswa dan kualitas pendidikannya.

Menurut Francois, perluasan penggunaan etnomatematika yang sesuai dengan keanekaragaman budaya siswa dan dengan praktik matematika dalam keseharian mereka membawa matematika lebih dekat dengan lingkungan siswa karena etnomatematika secara implisit merupakan program atau kegiatan yang menghantarkan nilai-nilai dalam matematika dan pendidikan matematika[10].

Telah banyak hasil penelitian berkaitan dengan etnomatematematika, baik yang berfokus pada pada artefak atau produk budaya yang sifatnya kongkrit, maupun kajian yang telah masuk ke dalam ranah pembelajaran. Kajian yang berfokus pada pada artefak atau produk budaya, yaitu mengkaji konsep matematika yang terwujud pada benda-benda kongkrit yang merupakan produk dari suatu budaya. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Arisetiyawan[11] tentang konstruksi bangun masyarakat Suku Badui; Supiyati, Hanum, & Jaelani [12] tentang bentuk bangunan pada Suku Sasak; Prabawati [13] tentang bentuk anyaman masyarkat Tasikmalaya, dan sebagainya.

Berbagai riset menunjukkan hubungan yang erat antara kajian etnomatematika dan pembelajaran matematika, serta etnomatematika yang berusaha mengembangkan pembelajaran dan pendidikan, diantaranya pengembangan bahan ajar matematika berbasis etnomatematika juga telah dilakukan oleh Ayuningtyas & Setiana [14]. Analisis berkaitan dengan kontribusi etnomatematika sebagai masalah kontekstual dalam mengembangkan literasi matematika[15]. Rosa dan Orey melakukan riset tentang ethomatematika yang bertujuan bagaimana pembalajaran matematika di sekolah lebih mempertimbangan latar belakang sosiokultural peserta didiknya[16].

Berbagai alternatif memang bisa digunakan dalam kegiatan pembelajaran, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana memodifikasi secara produktif  pembelajaran agar memberi dampak yang bermanfaat dari reformasi pengajaran. Tentunya yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika sekaligus dapat memberikan pemahaman dan penanaman budaya pada siswa.

 

Konsep Learning Trajectory

Learning trajectory adalah lintasan belajar terdiri dari langkah-langkah yang signifikan dalam pembelajaran topik tertentu, setiap langkah baru dalam jalur pembelajaran didasarkan pada langkah-langkah sebelumnya[17]. Dalam hal ini, pendididik pada saat merancang lintasan harus mempertimbangkan tugas-tugas yang digunakan dan tujuan pembelajaran. Learning trajectory merupakan alur kemampuan berpikir dan pemahaman siswa yang terjadi pada kegiatan pembelajaran[18]. Sesuai dengan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa (student center), desain pembelajaran yang dirancang oleh guru perlu memperhatikan adanya alur belajar siswa (learning trajectory). Learning trajectory akan membantu guru untuk menerapkan model, strategi bahan ajar dan penilaian yang tepat sesuai dengan tahapan berpikir siswa.

Learning Trajectory juga didefinisikan sebagai alur berpikir siswa tentang matematika, perkembangan dan bentuknya[19]. Dikarenakan setiap siswa mempunyai potensi dan sifat yang berbeda dalam memikirkan matematika, maka learning trajectory bersifat personal dan kontekstual. Dari sifat personal dan kontekstual tersebut, maka dapat diusahakan untuk mencari pola-pola pada komunitas atau kelompok siswa pada suatu konteks pembelajaran matematika tertentu. Mengingat hal tersebut maka diungkapkannya learning trajectory akan membawa manfaat yang besar bagi guru-guru matematika.

Lebih lanjut, Marsigit menyatakan untuk dapat mengungkap learning trajectory siswa, maka guru dalam mengajar perlu melakukan kegiatan observasi belajar siswa dan menafsirkannya sesuai dengan teori yang ada. Dapat dipahami bahwa learning trajectory siswa dipengaruhi oleh asumsi dasar tentang hakekat dan kompetensi matematika sekolah, baik kompetensi konten matematika maupun kompetensi proses matematika.

Istilah learning trajectory pertama kali dikemukakan Simon dalam artikelnya yang membahas tentang konsep learning trajectory dalam pembelajaran matematika[20]. Simon menjelaskan learning trajectory terdiri dari 3 komponen yaitu tujuan pembelajaran, serangkaian tugas, dan dugaan tentang cara berpikir dan belajar siswa. Tujuan yang dimaksudkan adalah capaian pemahaman konsep matematika. Tugas yang dimaksudkan adalah serangkaian tugas untuk mengetahui cara berpikir siswa. Cara berpikir siswa yang dimaksudkan adalah alur berpikir siswa dalam memahami konsep pembelajaran. Simon  berhasil merumuskan alur belajar dalam beberapa pertemuan matematika.

Menurut Chuang Yih Chen[21], learing trajectory terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan hipotesis proses pembelajaran. Komponen yang dikemukakan Chuang lebih kompleks, serangkaian tugas lebih dimaknakan komplek sebagai kegiatan pembelajaran. Penelitian Chuang berhasil merumuskan alur belajar siswa dalam memecahkan masalah matematika. Chuang lebih melihat alur belajar sebagai proses kegiatan pembelajaran.

Clement & Sarama mengemukakan tentang komponen learning trajectory  terdiri dari tujuan matematika, perkembangan siswa dalam mencapai tujuan dan serangkaian tugas instruksional[22]. Marsigit juga memiliki pendapat bahwa secara formal learning trajectory meliputi tiga komponen yaitu kompetensi matematika sekolah; pengembangan alur berpikir siswa berdasar kompetensi yang ditetapkan; serta, aktivitas dan tugas belajar sesuai dengan pengembangan learning trajectory[23]. Perbandingan keempat komponen learning trajectory dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

 

Tabel 1. Perbandingan Komponen Learning Trajectory

No. Simon (1995) Chuang (2002) Clement & Sarama (2009) Marsigit (2016)
1. tujuan pembelajaran tujuan pembelajaran tujuan pembelajaran matematika kompetensi matematika sekolah
2. hipotesis tentang cara berpikir dan belajar siswa hipotesis proses pembelajaran perkembangan siswa dalam mencapai tujuan pengembangan alur berpikir siswa berdasar kompetensi yang ditetapkan
3. serangkaian tugas kegiatan pembelajaran serangkaian tugas instruksional aktivitas dan tugas belajar sesuai dengan pengembangan learning trajectory

Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat disimpulkan bahwa learning trajectory mempunyai tiga komponen penting yakni: tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan dikembangkan oleh anak atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan seperangkat kegiatan pembelajaran ataupun tugas-tugas, yang sesuai dengan tingkatan berpikir yang ada pada lintasan perkembangan yang akan membantu anak tersebut dalam mengembangkan proses berpikirnya bahkan sampai pada proses berpikir tingkat tinggi.

Bagian pertama dari sebuah lintasan belajar adalah tujuan pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran seorang guru merupakan pengelompokan konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan yang merupakan hal yang pokok dan saling berhubungan, konsisten dengan pemikiran siswa, serta berguna dalam pembelajaran berikutnya. Bagian kedua dari lintasan belajar terdiri dari tingkatan-tingkatan berpikir, mulai dari yang mudah sampai yang rumit, untuk membawa siswa agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Progres perkembangan yang dibuat oleh guru menggambarkan sebuah lintasan yang akan diikuti oleh anak atau siswa dalam mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka tentang suatu topik. Guru yang baik adalah guru yang mampu menginterpretasi apa yang sedang dilakukan dan dipikirkan oleh anak didiknya dan berusaha melihat permasalahan tersebut dari sudut pandang anak didik tersebut.

Bagian ketiga dari lintasan belajar terdiri dari sekumpulan tugas-tugas pembelajaran yang bersesuaian dengan tingkat berpikir siswa yang ada dalam lintasan perkembangan yang telah dibuat. Tugas-tugas tersebut disusun untuk membantu siswa belajar tentang ide-ide dan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tingkatan berpikir. Oleh karena itu, sebagai seorang guru, kita dapat menggunakan tugas-tugas tersebut untuk mendorong perkembangan berpikir siswa dari satu level ke level berikutnya.

Sebagai kesimpulan, lintasan belajar menggambarkan tujuan pembelajaran, proses belajar dan berpikir anak pada berbagai macam level, dan aktivitas pembelajaran yang mungkin menarik bagi mereka. Peran guru adalah bagaimana memberi fasilitas, kesempatan ruang dan waktu kepada siswa, agar siswa bisa membangun. Maka akan tercipta hermeneutika learning trajectory.

 

Manfaat Learning Trajectory

Clement & Sarama menjelaskan bahwa melalui learning trajectory, guru dapat mengembangkan cara berpikir siswa dan menyediakan kegiatan pembelajaran yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran[24]. Hal ini serupa yang dikemukan oleh Empson yang mengemukakan learning trajectory dapat digunakan oleh guru, pengembang kurikulum dan pengembang penilaian[25].

Learning trajectory dapat digunakan guru untuk menentukan desain pembelajaran. Sebuah alur belajar memberikan petunjuk bagi guru untuk menentukan dan merumuskan tujuan-tujuan pembelajaran yang akan dicapai, selanjutnya guru dapat membuat keputusan-keputusan tentang langkah-langkah strategi yang akan digunakan untuk mewujutkan tujuan-tujuan tersebut[26]. Sebelum menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran atau pemecahan masalah, guru seharusnya memiliki terlebih dahulu informasi tentang pengetahuan prasyarat, strategi berpikir yang digunakan anak, level berpikir yang mereka tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka mengembangkan pemikiran yang dibutukan untuk tujuannya tersebut.

Melalui informasi tersebut guru dapat mengetahui alur belajar ataupun tingkat berpikir yang dimiliki anak saat itu. Dengan mengetahui level dan alur pikir yang dimiliki anak, dalam proses pembelajaran guru dapat mengetahui mana yang harus didahulukan dalam proses pengembangannya. Alur belajar memberikan suatu kerangka kerja bagi guru untuk mengembangkan pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik. Selanjutnya pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik dapat digunakan untuk merencanakan pembelajaran.

 

Urgensi Pengembangan Learning Trajectory dalam Pembelajaran Matematika

Secara umum perkembangan kemampuan kognitif anak mulai dengan hal yang konkrit kemudian secara bertahap mengarah ke hal yang abstrak. Bagi setiap siswa perjalanan dari konkrit ke abstrak dapat saja berbeda. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Bagi yang cepat mungkin tidak memerlukan banyak tahapan, tetapi bagi yang lambat akan perlu melalui banyak tahapan. Dengan demikian bagi setiap siswa mungkin saja memerlukan learning trajectory atau alur belajar yang berbeda[27].

Matematika merupakan mata pelajaran yang berhubungan dengan numerik dan logika. Matematika membutuhkan jawaban yang pasti dan akurat secara perhitungannya. Selama ini para guru belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran secara aktif, kreatif dalam melibatkan siswa serta belum menggunakan berbagai pendekatan atau strategi pembelajaran berdasarkan karakter materi pembelajaran. Hal ini berdampak pada pencapaian hasil belajar siswa yang rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dalam pembelajaran matematika guru perlu mendesain pembelajaran sesuai dengan tahapan berpikir siswa. Tahapan berpikir siswa merupakan salah satu komponen dari learning trajectory. Dengan adanya Learning trajectory diharapkan dapat meningkatkan kuliatas pembelajaran matematika.

Jika guru sudah mengetahui kesulitan-kesulitan dan hambatan yang mungkin dialami oleh peserta didik, maka guru perlu berpikir lebih awal untuk mempersiapkan bahan, metode dan strategi penyajian yang sesuai,sehingga peserta didik senantiasa berada pada lintasan alternatif yang sesuai dengan harapan, sehingga bisa mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan[28]. Suatu lintasan belajar mempunyai karakteristik adanya titik awal dan titik akhir. Selanjutnya lintasan belajar merupakan panduan guru dalam membuat Learning Trajectory yang merupakan rencana pelajaran guru berdasarkan antisipasi belajar siswa yang mungkin dicapai dalam proses pembelajaran yang didasari oleh tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan pada siswa, pengetahuan dan perkiraaan tingkat pemahaman siswanya, serta pilihan aktivitas matematika secara berturut.

 

Etnomatematika Berorientasi Learning Trajectory

Pentingnya etnomatematika dalam meningkatkan karakter berbudaya siswa menjadikan etnomatematika penting untuk diaplikasikan ke dalam pembelajaran. Mengenalkan etnomatematika kepada siswa dalam pembelajaran matematika diharapkan mampu membuat matematika di sekolah lebih relevan dan penuh makna bagi siswa serta bagi kualitas pendidikannya.

Mengajarkan etnomatematika akan lebih efektif jika disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Sebagai contoh, dalam teori Jean Piaget tentang perkembangan, bahwa siswa usia 7-11 tahun yaitu usia anak pada masa sekolah dasar yang masuk pada tahap operasional konkret. Dimana ciri anak pada tahap ini adalah mampu berpikir secara logis dan sistematis tentang simbol yang berkaitan dengan benda-benda konkret. Guru berperan untuk memberikan fasilitas, kesempatan, ruang dan waktu kepada siswa agar siswa mampu membangun sendiri pengetahuannya sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik sehingga peserta didik tidak merasa dipaksa dan dapat berkembang lebih baik. Fasilitas yang dimaksud dapat berupa mebyajikan contoh benda atau gambar objek etnomatematika agar siswa mampu lebih mudah memahami konsep matematika yang terkandung di dalamnya.

Teori Piaget telah banyak berpengaruh terhadap desain pembelajaran. Pembelajaran yang berorientasi pada guru berubah menjadi berorientasi pada siswa. Hal ini berarti bahwa faktor siswa menjadi hal yang utama dan harus diperhatikan dalam membuat suatu desain pembelajaran. Sebagai contoh alur pembelajaran harus dirancang sesuai dengan alur belajar siswa (learning trajectory). Begitu pula pada pembelajaran etnomatematika, pengenalan konsep etnomatematika harus dirancang sesuai learning trajectory.

Mengembangkan etnomatematika dalam nuansa learning trajectory (lintasan belajar) berarti menanamkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya secara kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan tahapan-tahapan belajar yang sesuai dengan perkembangan proses berpikir siswa, metode yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan. Dengan demikian diharapkan siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep matematika bermuatan budaya.

Dengan demikian, learning trajectory dalam memahami konsep etnomatematika yaitu, 1) Menyajikan gambar-gambar objek etnomatematika, 2) Merumuskan sifat dan konsep-konsep dari objek etnomatematika, dan 3) Memberikan ilustrasi proses menyelesaikan masalah berkaitan dengan konsep-konsep tersebut.

 

SIMPULAN

Etnomatematika adalah bentuk matematika yang dipengaruhi atau didasarkan budaya. Etnomatematika telah banyak dikaji dan diajarkan secara bersahaja denganmengambil budaya setempat. Melalui penerapan etnomatematika dalam pendidikan diharapkan peserta didik dapat lebih memahami matematika dan budaya mereka, sehingga nilai budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak dini.

Learning trajectory mempunyai tiga komponen penting yakni tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan dikembangkan, dan seperangkat kegiatan pembelajaran ataupun tugas-tugas. Learning trajectory mengisyaratkan bentuk  refleksi guru dalam pembelajaran dan bagaimana guru memperbaiki pembelajaran agar dapat lebih bermakna bagi siswa sesuai dengan kebutuhannya. Guru inovatif membangun learning trajectory dengan mempelajari bagaimana siswa berpikir dan belajar melalui berbagai referensi tentang teori belajar dan mengajar untuk membuat perangkat pembelajaran yang berbasis learning trajectory serta memfasilitasi belajar siswa sesuai dengan tingkatan berpikir siswa agar siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri serta dengan mengaitkan materi sebelum, materi pembelajaran, dan materi sesudah pembelajaran.

Mengembangkan etnomatematika dalam nuansa learning trajectory (lintasan belajar) berarti menanamkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya secara kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan tahapan-tahapan belajar yang sesuai dengan perkembangan proses berpikir siswa, metode yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan. Dengan demikian diharapkan siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep matematika bermuatan budaya.

 

Referensi

[1] Massarwe, K., Verner, I., & Bshouty, D., “Ethnomathematics and multi-culturaleducation: Analysis and construction of geometri ornament”, Journal of   Mathematics and Culture, 6 (1), 344-360, 2012.

[2]\Bishop,J.A., “Cultural Conplicts in the Mathematics Education of Indigenous people”. Clyton, Viktoria: Monash University, 1994b.

[3] D’Ambrosio, U., “Preface. Prosiding, International Congress of Mathematics Education agen”, Pisa: University of Pisa, 2006.

[4] D’Ambrosio, U., “ Link Between Traditions and Modernity, Rotterdam: Sense Publisher, 2001.

[5] Clements, D. H & Sarama, J., “Learning and teaching early math: the learning trajectories approach, New York: Routledge, 2009.

[6] Barton, “Ethnomathematics:Exploring Cultural Diversity in Mathematics”, D. Thesis, University of Auckland, 1994.

[7] D’Ambrosio, U., “Preface. Prosiding, International Congress of Mathematics Education Copenhagen”, Pisa: University of Pisa, 2006.

[8] Wedege, T., “Ethnomathematics and mathematical literacy: People knowingmathematics in society”, In Bergsten, C., Joblonka, E., & Wedege, T. (eds.), 2010.

[9] Rosa, M. & Orey, DC, “Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics”. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54, 2011.

[10] Francois, K., “Ethnomathematics in a European context: Towards an enrichedmeaning of ethnomathematics,Journal of Mathematics and Culture, 6 (1),191-208, 2012.

[11] Arisetyawan, A., Suryadi, D., Herman, T., Rahmat, C., “Study of Ethnomathematics : A lesson from the Baduy Culture”, International Journal of Education and Research Vol. 2 10 October: 681 – 688, 2014.

[12] Supiyati, S., Hanum, F., & Jailani, J., “Ethnomathematics In Sasaknese Architecture, Journal on Mathematics Education, 10(1), 47-58, 2019.

[13] Prabawati, M. N., “Etnomatematika Masyarakat Pengrajin Anyaman Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya”, Jurnal Infinity, 5(1), 2016.

[14] Ayuningtyas, AD., & Setiana, DS., “Pengembangan Bahan Ajar Matematika Berbasis Etnomatematika Kraton Yogyakarta, AKSIOMA: Jurnal Program Studi Pendidikan Matematika, 8(1), 11-19, 2019.

[15] Yohanes, JK., Zaenuri, M., Waluya, B.S., “Kontribusi Etnomatematika Sebagai Masalah Kontekstual Dalam Mengembangkan Literasi Matematika, PRISMA, Prosiding Seminar Nasional Matematika 2, 190-196, 2019.

[16] Rosa, M. & Orey, DC, “Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics”, Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54, 2011.

[17] Kühne, et.all., “A learning pathway for whole numbers that informs mathematics teaching in the early years”, South African Journal of Childhood Education 3(2): 77-95,

[18] Surya, A., “Learning Trajectory Pada Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar (SD)”, Jurnal Pendidikan Ilmiah, 4(2), 22-26,

[19] Marsigit, “Pembelajaran Matematika Dalam Perspektif Kekinian”, Math Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika, 2(3), 132-141, 2016.

[20] Simon, M. A., “Reconstructing Mathematics Pedagogy from a Constructivist Perspective”, Journal for Research in Mathematics Education, 26(2), 114-145, 1995.

[21] Chuang- Yih Chen, “A Hypothetical Learning Trajectory of Arguing Statements about Geometric Figures”, 2002 http://www.math.ntnu Edu.tw.

[22] Clements, D. H & Sarama, J., ”Learning and teaching early math: the learning trajectories approach”, New York: Routledge, 2009.

[23] Marsigit, “Pembelajaran Matematika Dalam Perspektif Kekinian”, Math Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika, 2(3), 132-141, 2016.

[24] Clements, D. H & Sarama, J., “Learning and teaching early math: the learning trajectories approach”, New York: Routledge, 2009.

[25] Emphson, S.B., “On idea learning trajectories promises and piftfalss”, The Mathematics Enthuasis, 8, 571-596,

[26] Nurdin, “Trajectori dalam pembelajaran matematika”, Jurnal Edumatica, 1-7, 2011.

[27] Atsnan, MF., “Keterlaksanaan Learning Trajectory Pada Pembelajaran Matematika”, LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan, 11(1), 57-63,

[28] Supriatna, T., “Local Instruction Theory (LIT) in Realistic Mathematics Education (RME) to develop the ability of logical thinking, algebraic thinking and mathematical disposition of Junior High School students”, Dissertation. University of Indonesia Education, 2017.